Selasa, 20 Oktober 2015

Short Poem : Haruskah Menanti?

Selasa, 20 Oktober 2015


Haruskah Menanti?

Hidup itu bagaikan lilin,
Berpendar sendiri hingga akhir.

Hidup itu bagaikan lilin,
Termakan api sampai mati.

Dan,

Jika hidup adalah tentang menanti,
Apakah artinya kau tak ‘kan pernah hadir?

Jika hidup adalah tentang menanti,
haruskah ku menanti sampai mati?

Namun,

Jika hidup bagaikan lilin yang termakan oleh api,
Masih haruskah ku terlalu lama menanti?



-Sung-
20 Oktober 2015

Sabtu, 30 Agustus 2014

Blog Walking (1)

Sabtu, 30 Agustus 2014
Libur semester kuliah sudah hampir habis. Sedih, sudah bakal mulai sibuk lagi. Tapi, masih nganggur. Hehe.

Di hari-hari akhir liburan ini, aku iseng-iseng suka main ke blog-blog orang.
Niat awal, cuman kepo dan pengen baca-baca cerita-cerita pendek (nyata ataupun enggak). Dan hasilnya : kece! Akhirnya cuman bisa ngepoin 1-2 blog gara-gara keasyikan di dunia mereka :p
 Ada beberapa blog yang menurutku keren dan asik. Nggak bikin bosen. Baca 1 postingan bikin aku pengen baca postingan yang lain.
Rencanaku sih, habisin baca postingan mereka semua yang ternyata udah seabrek.
Tapi, karena dicampur aduk sama bengong, online sosmed, nonton drama, download lagu, dll. sampai sekarang belum bisa habisin baca semua. Hehe.

Ini nih, blog-blog yang menurutku kece dan wajib dikunjungi :

1. niechan-no-sensei.blogspot.com

Ini blog dosenku di Farmasi UI : Kak Nia. Beliau memang orangnya asik sih, masih muda dan super-energik. Suka nonton drama, dan kece-nya sering ambil hikmah dari kisah drama.
Oke, sekarang bahas blog beliau aja.

Kenapa asik?
Tulisannya keren. Beliau biasanya nulis pengalaman dan pemikiran pribadi, yang menurutku itu pembelajaran banget. Selain itu, beliau juga nulis fiksi-fiksi mini, which are, lovable. Yakin, Kak Nia sebenernya bisa banget jadi penulis. Bahasanya manis, dan kisahnya keren.
Ide cerita, dialog tokoh, sama bentuk fiksinya kadang ga terduga, mungkin karena Kak Nia orangnya juga cukup unik :p

Karena kepo, akhirnya aku baca postingan-postingan beliau dari awal ngeblog. Dan, lucu. Hehe. Bahasanya masi anak muda banget dibanding posting baru. Struktur kalimatnya juga lebih bebas dan petuahnya nggak setua sekarang. Maksudku di sini tua : bahasanya uda rapih dan kayak kalimat motivasi di buku-buku gitu hehe.
Dari sini aku menyimpulkan : kualitas tulisan emang bisa berkembang. *note to myself*

Di antara beberapa posting yang bikin aku ketawa, bandingin sama diri sendiri, dan angguk-angguk setuju, ada tulisan beliau yang menurutku mendidik banget. Pemikiran yang oke. Mentalitas yang membangun.

Judulnya : Gray Salary.
Baca aja coba di sini : http://niechan-no-sensei.blogspot.com/2010/09/gray-salary.html

Sayangnya, blog Kak Nia kurang keren nih tampilannya. Haha. Mungkin karena beliau cukup sibuk. Atau memang Kak Nia bukan tipe orang yang merhatiin hal-hal kayak gitu.
Ini masih bisa ditolerir banget kok, yang penting, isinya. :))



2. www.windryramadhina.com

Tau doongs, ini blog siapa? :D Mbak Windry, penulis novel : Memori, Montase, London : Angel, Metropolis, Interlude. Salah satu penulis favorit yang novelnya wajib dibeli. Dan novel lamanya yang berjudul Orange lagi aku cari-cari. Semoga saja dicetak ulang, amiin.

Awalnya, tetep aja karena kepo. Karena sebenarnya, aku nggak begitu betah baca tulisan via gadget. Capek. Mending nonton, hehe.
Tapii, setelah baca satu-dua posting, sayang banget kalau nggak ngabisin baca yang lainnya. Walaupun nyicil, wajib deh aku beresin baca semua.

Bagus? Bangeet!
Apalagi buat para story-lover kayak aku. Mbak Windry di blognya, nulis cerita-cerita pendek yang kereen. Lumayan buat orang yang candu baca novel beliau. Seenggaknya ada selingan sambil nunggu ada novel kece yang dibeli.
Selain itu, beliau juga sering nulis proses-proses lahirnya novel-novel. Atau bahkan nyeritain proses penulisan. Kisah-kisah di balik novel ternyata juga manis dan menarik lhoo. Buat fans Mbak Windry, ini asik bangeet buat dibaca.
Beliau juga kadang kasi tips menulis buat yang pengen jadi penulis lhoo *again, note to myself*
Selain itu, ada beberapa tulisan yang sekedar berisi pengalaman dan pemikiran pribadi, tetapi tetep aja asik dibaca :DD

Tampilan blog Mbak Windry simple, tapi keren. :))






Gegara kecanduan sama dua blog di atas, yang sebenernya entah kapan bisa aku selesaiin bacanya, aku jadi pengen blogwalking lagi. Hehe.
Blog-blog yang jadi sasaran : blognya Mbak Morra, Prisca, Kak Winna.

Sekali lagi, karena terlalu banyak selingan, entah ini beneran bakal dilakuin atau cuman berakhir jadi wacana. Haha. Apalagi udah mau masuk kuliah. :3

Semoga bisa terlaksana^^ -sung

Senin, 18 Agustus 2014

Dream Chaser

Senin, 18 Agustus 2014
Pagi ini, aku terbangun ketika matahari bahkan belum terbit. Tepatnya, dibangunkan oleh gedoran keras di pintu apartemen—alih-alih denting pelan bel rumah.
Such a gloomy Sunday. Tamu tak diundang itu, adalah tetangga yang tinggal persis di depan kamar apartemenku. Selain dia, tidak ada yang bangun pagi-pagi di musim dingin. Khususnya ketika cuaca yang tampak di luar jendela hanya warna putih dan kelabu. Salju menumpuk akibat hujan salju semalam.
Namanya Olay, lelaki itu. Aku sering menggodanya karena memiliki nama seperti merek produk kecantikan, padahal dia seorang lelaki. Dan dia selalu menanggapi dengan serius, bahwa dialah pemilik perusahaan itu. Saking seriusnya, aku mulai sedikit percaya hal itu benar adanya.
Kembali pada hari Minggu-ku yang muram. Setelah gangguan di pagi hari itu, kini aku terjebak di tengah dinginnya musim dingin bersamanya. Sepatu boot kami terpendam salju hingga betis, dan meninggalkan sepasang jejak-jejak dalam sepanjang jalan. Sedikit lucu, melihat jejak berbeda ukuran itu tercetak beriringan.
Uap-uap putih mengepul bersama dengan hembusan napasku. Serius, hari ini sangat dingin.
“Olay, tunggu aku.”
Sebenarnya, kami masih berjalan beriringan. Tetapi langkahnya tampak amat bersemangat. Sementara aku? Rasanya hampir pingsan.
Mata birunya menatapku, berkilat-kilat jenaka. “Kau baik-baik saja?”
“Menurutmu?” timpalku jengkel.
“Kau tampak hampir pingsan.”
Aku merengut, sambil merapatkan mantel. Padahal, pakaian yang kukenakan sudah tebal berlapis—saking tebalnya, aku hampir tak bisa bergerak. Tetapi aku masih saja merasa dingin.
Olay tertawa lagi. “Kemari.”
Dia melepas syalnya, dan melilitkannya di leherku hingga menutupi hidung, menghalangi napasku terkuar, dan hangatnya perlahan menenangkanku.
“Bagaimana?” tanyanya.
Aku menatap Olay. Memang, sepeninggal syalnya tadi, lehernya masih tertutup oleh bahan wol turtleneck yang dikenakannya. Tetapi, tetap saja—“Kau tidak kedinginan?” tanyaku, terdengar takjub.
“Dingin. Tetapi tidak kedinginan. Ayo, kau sudah bisa jalan lagi, kan?”
Aku mengangkat bahu. Ajaib, sekarang aku merasa baik-baik saja. Maka kami melangkah lagi.
“Kenapa kau bisa sekuat itu melawan dingin?” Pertanyaanku ini terlontar ketika kami tiba di tempat tujuan : bangku kota yang menghadap katedral kecil. Bukan tempat istimewa, tetapi Olay yang menentukan tempatnya. Jadi, jangan bertanya padaku apa alasannya.
Sambil mengeluarkan alat lukisnya, Olay menjawab penuh semangat, “Mana aku tahu. Mungkin aku memang tidak selemah dirimu. Sebenarnya, hari ini cukup dingin, kuakui itu. Tetapi membayangkan apa yang bisa kulukis untuk tugas kelas minggu depan, rasanya amat menyenangkan!”
Aku hanya bisa menghela napas, sambil menyandarkan punggungku ke bangku. Di sebelahku, Olay sudah menata kanvas dengan baik. Jemarinya sudah menggenggam kuas, dan segera saja kanvas itu terisi oleh warna-warna sunyi.
Kalian pasti bertanya-tanya, apa yang kulakukan sementara Olay melukis. Sayangnya, aku tidak melakukan apa-apa—selain merasa ngantuk tetapi tetap mengawasi kuas Olay menyapu indah.
Jangan salahkan aku. Aku mengikuti Olay karena dia bilang dia takut tersesat. Kuakui, dia parah dalam menghafal jalan dan arah. Walau akhirnya dia selamat sampai di sini tanpa bantuanku sama sekali.
Dan, lukisan Olay termasuk salah satu mahakarya. Nilainya selalu sempurna di kelas kami.
“Olay. Aku yakin, kau melukis di studio kecilmu tanpa harus menerjang dingin ke tempat ini pun, nilaimu akan tetap sempurna di kelas.” Aku berujar. Saat itu, Olay sedang melukiskan figur katedral.
Tanpa repot-repot memalingkan muka dari kanvasnya, Olay membalas dengan pertanyaan, “Menurutmu, apakah aku sudah setara pelukis dunia?”
Aku mengedik. Lukisan Olay memang bagus, tetapi tentu saja, kalau dibandingkan dengan lukisan-lukisan fenomenal dunia—“Cukup bagus untuk layak muncul di pameran, sebenarnya.”
“Tetapi mimpiku adalah menghasilkan karya yang lebih dikenal dari karya Da Vinci.”
Normalnya, aku akan tertawa. Tetapi, Olay tampak mengucapkannya dengan serius, sehingga aku lebih merasa kagum daripada geli.
Aku tak menjawab, tetapi dia melanjutkan, “Kau mungkin bertanya-tanya, kenapa aku seberbakat ini, kan? Tahu tidak, aku sudah berlatih melukis sejak masih di sekolah dasar. Di waktu-waktu itu, apa yang sedang kau lakukan?”
Oh, well. Aku tidak ingat apa saja yang kulakukan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Aku terpesona pada lukisan saat Mom mengajakku ke pameran. Lukisan itu tampak jauh lebih hidup dibandingkan kenyataan. Jadi, sebenarnya aku sudah mengejar mimpiku sejak lama.”
Aku mengangguk, kini mengerti. Olay sudah berjuang. Karena itu dia selalu berada beberapa langkah di depanku—atau teman-teman sekelas yang lain.
“Lalu, apa mimpimu?” tanyanya padaku ketika aku tak juga bersuara.
“Aku suka melukis. Tetapi, lihat, aku sudah tertinggal jauh darimu.” ujarku, menyesali kesia-siaan yang selama ini kunikmati.
“Kalau begitu, bergeraklah sekarang. Sebelum lebih terlambat. Bukankah kita masih muda?” Olay tersenyum, bukan memandangku, tetapi memandang puas pada saput kelabu pada lukisannya.
Dia benar. Belum terlambat.
Aku ingin menjadi seperti dia.

Being a dream chaser.

***

Minggu, 17 Agustus 2014

When The Memories Fade

Minggu, 17 Agustus 2014
Hei, kita tidak dipisahkan oleh jarak. Kita hanya dipisahkan oleh waktu.

Kau dan aku, selalu berada di tempat yang sama, dalam waktu yang berbeda. Berselisih waktu dan jalan. Berselisih hati dan pikiran. Aku menunggumu di sini, dan kau tak datang. Aku pergi, dan menemukan jejak kehadiranmu saat aku kembali.

Suatu waktu yang lalu kita bertemu. Aku melangkah tanpa rasa, meninggalkan nisan tak berarti. Dan menemukanmu. Kau bersimpuh di depan nisan tak bernama, meninggalkan sekuntum bunga dahlia.

Aku menghampirimu. Tetapi kau bangkit, tersenyum lalu pergi. Meninggalkanku yang diam, tanpa sempat mengatakan sesuatu.

Seperti gerhana yang mengijinkan matahari dan bulan bertemu secara berkala, aku menanti, kapan kita akan bertemu lagi?

Sekali lagi, kita berselisih waktu. Sekuntum bunga di nisan tak bernama, satu-satunya petunjuk kehadiranmu. Ini bunga keseratus dua puluh yang kau tinggalkan sejak pertemuan kita satu-satunya. Itu berarti kita telah berselisih waktu sebanyak seratus dua puluh pula.

Kapan kita akan bertemu?

Aku tak akan menunggu di nisan tak bernama itu sepanjang waktu.

Dan ingatanku tak akan mampu menyimpan rekaman wajahmu selamanya.

Wajahmu dalam memoriku memudar.

Tak banyak yang kuketahui tentangmu. Hanya seorang gadis yang entah mengapa menarik perhatianku. Kau bersinar, menghargai nisan tanpa nama. Dan aku adalah gelap, mengabaikan nisan dengan nama yang kukenal terukir indah.

Tidak ada alasan untuk menantimu. Tapi aku masih saja menantimu.
Tidak jelas apa yang kunantikan darimu. Tapi aku masih menantimu.

Seiring waktu, kau memudar. Hanya kuntum dahlia yang masih terukir jelas. Apakah, seiring waktu, kau juga akan kehilangan arti? Seperti nisan dingin yang berdiri jauh.

Tahun berganti, dan waktu masih tak mengijinkan kita bertemu.
Aku telah cukup lama menanti. Mungkin sudah saatnya aku berhenti.

Hei, kau. Aku bahkan tak mengetahui namamu. Aku akan berhenti menantimu, ketika kau telah menghilang dari memoriku.
Aku lelah menanti kehadiranmu. Dan kini aku menanti hilangnya dirimu.
Sosokmu memudar jauh, tak butuh waktu lama untuk menghilang, bukan?

Tahun berganti. Kita belum bertemu. Tapi kau juga belum menghilang.
Aku selalu menantikan hal yang sia-sia.

Kau mungkin memudar. Sosokmu hanya meninggalkan garis dan warna samar dalam otakku. Tetapi kau tak pernah menghilang.

Penantian manakah yang lebih sia-sia?

Kehadiranmu, yang tak diijinkan waktu.

Atau, hilangnya dirimu, yang tak diijinkan inti diriku?

Jumat, 17 Januari 2014

Laura’s Side Story : Coming Home #WFFB

Jumat, 17 Januari 2014

Fanfiction from : Winna's Melbourne

Laura’s Side Story : Coming Home

Max adalah cinta pertamaku, aku pernah mengatakannya bukan?
Ya, yang kumaksud ketika mengatakannya memang Maximillian Prasetya, lelaki yang mengambil walkman tuaku, my giant teddy bear. Kenyataannya, itu tidak sepenuhnya benar. Aku melupakan seseorang yang pernah benar-benar menjadi cinta pertamaku. Cukup muda sehingga bisa disebut cinta monyet, tetapi jauh dari sekedar naksir. Namanya Sean, anak kuliahan yang kutemui diam-diam sewaktu SMA dan diam-diam mendapat gelar best-man dariku.
Kisah yang satu ini, tak seorang pun mengetahuinya. Bahkan Cee pun tidak. Sama seperti aku menyimpan kisah Evan (walaupun Max mengetahuinya juga), aku menyimpan cinta pertamaku ini di bilik lain hatiku. Tersimpan terlalu rapi hingga aku nyaris melupakannya.
Pertemuanku dengannya setelah sekian lama, di waktu yang tak terduga, mengusik memoriku tentangnya. Ketika itu, aku tengah menatap kosong. Membiarkan ragaku menjalankan kegiatannya sementara jiwaku mungkin masih tertinggal di salah satu sudut Melbourne. Sekelompok seniman jalan, dengan alat musik klasik memainkan remix lagu lama.
“Laura?” Kala itu, di antara kerumunan pejalan kaki yang tertarik, dia menegurku. Dan aku langsung mengenalinya.
Dia berubah. Jauh lebih tegap daripada ingatanku. Jauh lebih dewasa. Dan, jauh lebih…tampan. Seorang gadis, lebih mungil dariku, berdiri di sisinya. Senyum ramah yang identik terulas di bibir mereka.
Aku membalas senyum mereka, kaku. Barangkali aku sudah menjelma menjadi zombie.
“Kau baik-baik saja?” Tidak, aku tidak baik-baik saja, Sean.
Maka, jadwalku siang itu dibatalkan. Tidak ada acara berburu kaset, tidak ada kunjungan membosankan ke pameran. Digantikan satu sesi penuh dengan aliran ceritaku. Dia mendengarkan penuh perhatian. Sean masih tetap best man-ku kurasa. Sementara kekasihnya, dengan baik hati memberi kami ruang dan waktu.
Dia tak menanggapi ceritaku dengan penghakiman. Tidak pula dengan nasehat.
Do what your heart tells, Laura. It will brings you home.”
 Cee, Evan, Max, adalah mereka yang kusebut rumah. Tetapi, bukan itu—
“Seseorang yang kau ingin ada di sampingmu ketika kau berada di titik terburukmu. Seseorang yang selalu ada di sampingmu. Bukan seseorang yang membuatmu cemburu di beberapa momen hidupmu, tetapi seseorang yang diam-diam kau ingat sepanjang waktu.”
Aku tersenyum, kali ini tulus. “Apakah dia seperti itu?” Aku mengedikkan kepala kepada kekasihnya, yang duduk sabar tak jauh dari kami, menyesap tenang secangkir kopi. Sean hanya menjawab dengan senyum, yang kuartikan sebagai ‘ya’.
Sebenarnya, aku tak sepenuhnya memahami apa yang dikatakannya saat itu. Bahkan tidak pula kini, berhari-hari setelahnya.
Hari demi hari berlalu. Tubuhku menjalankan segala rencana kegiatan yang tertulis di secarik kertas kumal. Aku bahkan tidak terlalu mengingat apa saja yang sudah kulakukan berhari-hari terakhir ini.
Seharusnya, aku tidak sendirian menjalankan ini semua. Seharusnya, ada Max di sampingku. Seharusnya, kami berkeliling Australia bersama. Memburu kaset. Tertawa keras bersama di tengah kerumunan orang. Berdebat menentukan di mana kami akan menginap di malam hari. Bertengkar kecil karena perbedaan pendapat akan destinasi selanjutnya.
Aku mendesah. Seseorang yang kau pikirkan sepanjang waktu, mendadak aku teringat perkataan Sean. Jantungku berpacu ketika memori dan keinginan tulusku mengambang dari dasar hati, menembus kabut penyangkalan pekat yang terbentuk akibat pedih. Sejak dulu, aku sudah mengetahui jawabannya.
Aku telah menemukan jalan pulang. Maximillian dengan segala rangkaian cahayanya dan kenangan di pojok Prudence adalah rumahku.
Sepertinya, aku kembali berutang pada Sean. Dia yang mengenalkanku pada cinta pertama. Dan kini dia mengantarku menemukan jalan pulang. Mungkin suatu saat nanti, aku akan berbagi kisah kami. Bagaimana dia menjadi cinta pertamaku. Dan bagaimana statusnya tidak pernah menjadi lebih dari best man bagiku.
Itu kisah lain. Satu hal yang pasti saat ini, aku harus pulang.


Jumat, 03 Januari 2014

Reincarnation

Jumat, 03 Januari 2014
Yap, let's talk about reincarnation :) Tiba-tiba aja kepikiran nulis ini, soalnya aku lagi nonton drama Man From Another Star, dimana cowoknya alien yang gabisa mati dan ceweknya bereinkarnasi setelah 400 tahun. Sebenernya, banyak nggak sih film ataupun drama yang mengusung tema reinkarnasi? mm, nggak inget judulnya satu-satu sih, dan walaupun reinkarnasi bukan sebagai tema utama, ada hal-hal kecil tentang reinkarnasi yang disinggung bukan? Salah satu contohnya, drama Rooftop Prince. Tapi waktu itu, aku nggak mikirin atau nggak kebawa sama pikiran tentang reinkarnasi itu. Juga, di drama-drama sama di film, bahkan buku semacam novel, kan sering ada line "Kalo ada kehidupan mendatang, maunya sama kamu." (sederhananya gitu deh :p)

Oke, balik ke topik. Abis nonton beberapa episode Man From Another Star, aku kepikiran : kenapa sih, ada reinkarnasi? Nah, di drama ini ada beberapa line sedih. Termasuk kisah si kelinci keramik, yang dikisahkan jatuh cinta pada gadis pemiliknya. Dan gadis itu mati, sementara si kelinci keramik hanya bisa melihat dan patah hati tetapi tetap bertahan, diam-diam berjanji tidak akan jatuh cinta pada manusia lagi. (Ini nggambarin kisah si cowok alien yang immortal itu sebenernya.) Dari situ aku mikir. Mungkin, mengabaikan segala teori yang ada sekarang, mungkin reinkarnasi ada untuk hal-hal seperti itu. Untuk sesuatu yang terus hidup agar memiliki cinta yang dapat ditunggu? Anggap makhluk immortal tidak ada. Mungkin, reinkarnasi ada untuk cinta yang immortal. Yang mungkin kembali di jaman dan tempat yang berbeda. Sedikit berfantasi, karena hingga kini nggak ada orang yang benar-benar tahu apakah reinkarnasi itu ada atau tidak, dan seperti apa tepatnya itu terjadi.

Mungkin, suatu saat nanti, di jaman dan tempat yang berbeda, kita bisa bertemu lagi. Seperti kita--kamu dan aku--sekarang terhubung melalui tulisan ini, mungkin suatu saat nanti akan terulang. Saat itu, kita mungkin sedang duduk bersama orang-orang yang kita cintai saat ini.
Attached this alien boy from Man From Another Star. Hh, when alien has this kind of looks, haha. Alien nowadays is so good-looking! (Remember "I'm Number Four" movie, and now this :3 )
 
Just a Simple Words © 2008. Design by Pocket