Pagi
ini, aku terbangun ketika matahari bahkan belum terbit. Tepatnya, dibangunkan
oleh gedoran keras di pintu apartemen—alih-alih denting pelan bel rumah.
Such a gloomy Sunday. Tamu
tak diundang itu, adalah tetangga yang tinggal persis di depan kamar
apartemenku. Selain dia, tidak ada yang bangun pagi-pagi di musim dingin.
Khususnya ketika cuaca yang tampak di luar jendela hanya warna putih dan kelabu.
Salju menumpuk akibat hujan salju semalam.
Namanya
Olay, lelaki itu. Aku sering menggodanya karena memiliki nama seperti merek produk
kecantikan, padahal dia seorang lelaki. Dan dia selalu menanggapi dengan serius, bahwa dialah pemilik perusahaan
itu. Saking seriusnya, aku mulai sedikit percaya hal itu benar adanya.
Kembali
pada hari Minggu-ku yang muram. Setelah gangguan di pagi hari itu, kini aku
terjebak di tengah dinginnya musim dingin bersamanya. Sepatu boot kami terpendam salju hingga betis, dan meninggalkan sepasang jejak-jejak
dalam sepanjang jalan. Sedikit lucu, melihat jejak berbeda ukuran itu tercetak
beriringan.
Uap-uap
putih mengepul bersama dengan hembusan napasku. Serius, hari ini sangat dingin.
“Olay,
tunggu aku.”
Sebenarnya,
kami masih berjalan beriringan. Tetapi langkahnya tampak amat bersemangat.
Sementara aku? Rasanya hampir pingsan.
Mata
birunya menatapku, berkilat-kilat jenaka. “Kau baik-baik saja?”
“Menurutmu?”
timpalku jengkel.
“Kau
tampak hampir pingsan.”
Aku
merengut, sambil merapatkan mantel. Padahal, pakaian yang kukenakan sudah tebal
berlapis—saking tebalnya, aku hampir tak bisa bergerak. Tetapi aku masih saja
merasa dingin.
Olay
tertawa lagi. “Kemari.”
Dia
melepas syalnya, dan melilitkannya di leherku hingga menutupi hidung,
menghalangi napasku terkuar, dan hangatnya perlahan menenangkanku.
“Bagaimana?”
tanyanya.
Aku
menatap Olay. Memang, sepeninggal syalnya tadi, lehernya masih tertutup oleh
bahan wol turtleneck yang
dikenakannya. Tetapi, tetap saja—“Kau tidak kedinginan?” tanyaku, terdengar
takjub.
“Dingin.
Tetapi tidak kedinginan. Ayo, kau sudah bisa jalan lagi, kan?”
Aku
mengangkat bahu. Ajaib, sekarang aku merasa baik-baik saja. Maka kami melangkah
lagi.
“Kenapa
kau bisa sekuat itu melawan dingin?” Pertanyaanku ini terlontar ketika kami
tiba di tempat tujuan : bangku kota yang menghadap katedral kecil. Bukan tempat
istimewa, tetapi Olay yang menentukan tempatnya. Jadi, jangan bertanya padaku
apa alasannya.
Sambil
mengeluarkan alat lukisnya, Olay menjawab penuh semangat, “Mana aku tahu.
Mungkin aku memang tidak selemah dirimu. Sebenarnya, hari ini cukup dingin,
kuakui itu. Tetapi membayangkan apa yang bisa kulukis untuk tugas kelas minggu
depan, rasanya amat menyenangkan!”
Aku
hanya bisa menghela napas, sambil menyandarkan punggungku ke bangku. Di
sebelahku, Olay sudah menata kanvas dengan baik. Jemarinya sudah menggenggam
kuas, dan segera saja kanvas itu terisi oleh warna-warna sunyi.
Kalian
pasti bertanya-tanya, apa yang kulakukan sementara Olay melukis. Sayangnya, aku
tidak melakukan apa-apa—selain merasa ngantuk tetapi tetap mengawasi kuas Olay
menyapu indah.
Jangan
salahkan aku. Aku mengikuti Olay karena dia bilang dia takut tersesat. Kuakui,
dia parah dalam menghafal jalan dan arah. Walau akhirnya dia selamat sampai di
sini tanpa bantuanku sama sekali.
Dan,
lukisan Olay termasuk salah satu mahakarya. Nilainya selalu sempurna di kelas
kami.
“Olay.
Aku yakin, kau melukis di studio kecilmu tanpa harus menerjang dingin ke tempat
ini pun, nilaimu akan tetap sempurna di kelas.” Aku berujar. Saat itu, Olay sedang
melukiskan figur katedral.
Tanpa
repot-repot memalingkan muka dari kanvasnya, Olay membalas dengan pertanyaan, “Menurutmu,
apakah aku sudah setara pelukis dunia?”
Aku
mengedik. Lukisan Olay memang bagus, tetapi tentu saja, kalau dibandingkan
dengan lukisan-lukisan fenomenal dunia—“Cukup bagus untuk layak muncul di
pameran, sebenarnya.”
“Tetapi
mimpiku adalah menghasilkan karya yang lebih dikenal dari karya Da Vinci.”
Normalnya,
aku akan tertawa. Tetapi, Olay tampak mengucapkannya dengan serius, sehingga
aku lebih merasa kagum daripada geli.
Aku
tak menjawab, tetapi dia melanjutkan, “Kau mungkin bertanya-tanya, kenapa aku
seberbakat ini, kan? Tahu tidak, aku sudah berlatih melukis sejak masih di
sekolah dasar. Di waktu-waktu itu, apa yang sedang kau lakukan?”
Oh,
well. Aku tidak ingat apa saja yang
kulakukan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Aku
terpesona pada lukisan saat Mom mengajakku ke pameran. Lukisan itu tampak jauh
lebih hidup dibandingkan kenyataan. Jadi, sebenarnya aku sudah mengejar mimpiku
sejak lama.”
Aku
mengangguk, kini mengerti. Olay sudah berjuang. Karena itu dia selalu berada
beberapa langkah di depanku—atau teman-teman sekelas yang lain.
“Lalu,
apa mimpimu?” tanyanya padaku ketika aku tak juga bersuara.
“Aku
suka melukis. Tetapi, lihat, aku sudah tertinggal jauh darimu.” ujarku,
menyesali kesia-siaan yang selama ini kunikmati.
“Kalau
begitu, bergeraklah sekarang. Sebelum lebih terlambat. Bukankah kita masih
muda?” Olay tersenyum, bukan memandangku, tetapi memandang puas pada saput
kelabu pada lukisannya.
Dia
benar. Belum terlambat.
Aku
ingin menjadi seperti dia.
Being a dream chaser.
***