Senin, 18 Agustus 2014

Dream Chaser

Senin, 18 Agustus 2014
Pagi ini, aku terbangun ketika matahari bahkan belum terbit. Tepatnya, dibangunkan oleh gedoran keras di pintu apartemen—alih-alih denting pelan bel rumah.
Such a gloomy Sunday. Tamu tak diundang itu, adalah tetangga yang tinggal persis di depan kamar apartemenku. Selain dia, tidak ada yang bangun pagi-pagi di musim dingin. Khususnya ketika cuaca yang tampak di luar jendela hanya warna putih dan kelabu. Salju menumpuk akibat hujan salju semalam.
Namanya Olay, lelaki itu. Aku sering menggodanya karena memiliki nama seperti merek produk kecantikan, padahal dia seorang lelaki. Dan dia selalu menanggapi dengan serius, bahwa dialah pemilik perusahaan itu. Saking seriusnya, aku mulai sedikit percaya hal itu benar adanya.
Kembali pada hari Minggu-ku yang muram. Setelah gangguan di pagi hari itu, kini aku terjebak di tengah dinginnya musim dingin bersamanya. Sepatu boot kami terpendam salju hingga betis, dan meninggalkan sepasang jejak-jejak dalam sepanjang jalan. Sedikit lucu, melihat jejak berbeda ukuran itu tercetak beriringan.
Uap-uap putih mengepul bersama dengan hembusan napasku. Serius, hari ini sangat dingin.
“Olay, tunggu aku.”
Sebenarnya, kami masih berjalan beriringan. Tetapi langkahnya tampak amat bersemangat. Sementara aku? Rasanya hampir pingsan.
Mata birunya menatapku, berkilat-kilat jenaka. “Kau baik-baik saja?”
“Menurutmu?” timpalku jengkel.
“Kau tampak hampir pingsan.”
Aku merengut, sambil merapatkan mantel. Padahal, pakaian yang kukenakan sudah tebal berlapis—saking tebalnya, aku hampir tak bisa bergerak. Tetapi aku masih saja merasa dingin.
Olay tertawa lagi. “Kemari.”
Dia melepas syalnya, dan melilitkannya di leherku hingga menutupi hidung, menghalangi napasku terkuar, dan hangatnya perlahan menenangkanku.
“Bagaimana?” tanyanya.
Aku menatap Olay. Memang, sepeninggal syalnya tadi, lehernya masih tertutup oleh bahan wol turtleneck yang dikenakannya. Tetapi, tetap saja—“Kau tidak kedinginan?” tanyaku, terdengar takjub.
“Dingin. Tetapi tidak kedinginan. Ayo, kau sudah bisa jalan lagi, kan?”
Aku mengangkat bahu. Ajaib, sekarang aku merasa baik-baik saja. Maka kami melangkah lagi.
“Kenapa kau bisa sekuat itu melawan dingin?” Pertanyaanku ini terlontar ketika kami tiba di tempat tujuan : bangku kota yang menghadap katedral kecil. Bukan tempat istimewa, tetapi Olay yang menentukan tempatnya. Jadi, jangan bertanya padaku apa alasannya.
Sambil mengeluarkan alat lukisnya, Olay menjawab penuh semangat, “Mana aku tahu. Mungkin aku memang tidak selemah dirimu. Sebenarnya, hari ini cukup dingin, kuakui itu. Tetapi membayangkan apa yang bisa kulukis untuk tugas kelas minggu depan, rasanya amat menyenangkan!”
Aku hanya bisa menghela napas, sambil menyandarkan punggungku ke bangku. Di sebelahku, Olay sudah menata kanvas dengan baik. Jemarinya sudah menggenggam kuas, dan segera saja kanvas itu terisi oleh warna-warna sunyi.
Kalian pasti bertanya-tanya, apa yang kulakukan sementara Olay melukis. Sayangnya, aku tidak melakukan apa-apa—selain merasa ngantuk tetapi tetap mengawasi kuas Olay menyapu indah.
Jangan salahkan aku. Aku mengikuti Olay karena dia bilang dia takut tersesat. Kuakui, dia parah dalam menghafal jalan dan arah. Walau akhirnya dia selamat sampai di sini tanpa bantuanku sama sekali.
Dan, lukisan Olay termasuk salah satu mahakarya. Nilainya selalu sempurna di kelas kami.
“Olay. Aku yakin, kau melukis di studio kecilmu tanpa harus menerjang dingin ke tempat ini pun, nilaimu akan tetap sempurna di kelas.” Aku berujar. Saat itu, Olay sedang melukiskan figur katedral.
Tanpa repot-repot memalingkan muka dari kanvasnya, Olay membalas dengan pertanyaan, “Menurutmu, apakah aku sudah setara pelukis dunia?”
Aku mengedik. Lukisan Olay memang bagus, tetapi tentu saja, kalau dibandingkan dengan lukisan-lukisan fenomenal dunia—“Cukup bagus untuk layak muncul di pameran, sebenarnya.”
“Tetapi mimpiku adalah menghasilkan karya yang lebih dikenal dari karya Da Vinci.”
Normalnya, aku akan tertawa. Tetapi, Olay tampak mengucapkannya dengan serius, sehingga aku lebih merasa kagum daripada geli.
Aku tak menjawab, tetapi dia melanjutkan, “Kau mungkin bertanya-tanya, kenapa aku seberbakat ini, kan? Tahu tidak, aku sudah berlatih melukis sejak masih di sekolah dasar. Di waktu-waktu itu, apa yang sedang kau lakukan?”
Oh, well. Aku tidak ingat apa saja yang kulakukan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Aku terpesona pada lukisan saat Mom mengajakku ke pameran. Lukisan itu tampak jauh lebih hidup dibandingkan kenyataan. Jadi, sebenarnya aku sudah mengejar mimpiku sejak lama.”
Aku mengangguk, kini mengerti. Olay sudah berjuang. Karena itu dia selalu berada beberapa langkah di depanku—atau teman-teman sekelas yang lain.
“Lalu, apa mimpimu?” tanyanya padaku ketika aku tak juga bersuara.
“Aku suka melukis. Tetapi, lihat, aku sudah tertinggal jauh darimu.” ujarku, menyesali kesia-siaan yang selama ini kunikmati.
“Kalau begitu, bergeraklah sekarang. Sebelum lebih terlambat. Bukankah kita masih muda?” Olay tersenyum, bukan memandangku, tetapi memandang puas pada saput kelabu pada lukisannya.
Dia benar. Belum terlambat.
Aku ingin menjadi seperti dia.

Being a dream chaser.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Just a Simple Words © 2008. Design by Pocket