Minggu, 17 Agustus 2014

When The Memories Fade

Minggu, 17 Agustus 2014
Hei, kita tidak dipisahkan oleh jarak. Kita hanya dipisahkan oleh waktu.

Kau dan aku, selalu berada di tempat yang sama, dalam waktu yang berbeda. Berselisih waktu dan jalan. Berselisih hati dan pikiran. Aku menunggumu di sini, dan kau tak datang. Aku pergi, dan menemukan jejak kehadiranmu saat aku kembali.

Suatu waktu yang lalu kita bertemu. Aku melangkah tanpa rasa, meninggalkan nisan tak berarti. Dan menemukanmu. Kau bersimpuh di depan nisan tak bernama, meninggalkan sekuntum bunga dahlia.

Aku menghampirimu. Tetapi kau bangkit, tersenyum lalu pergi. Meninggalkanku yang diam, tanpa sempat mengatakan sesuatu.

Seperti gerhana yang mengijinkan matahari dan bulan bertemu secara berkala, aku menanti, kapan kita akan bertemu lagi?

Sekali lagi, kita berselisih waktu. Sekuntum bunga di nisan tak bernama, satu-satunya petunjuk kehadiranmu. Ini bunga keseratus dua puluh yang kau tinggalkan sejak pertemuan kita satu-satunya. Itu berarti kita telah berselisih waktu sebanyak seratus dua puluh pula.

Kapan kita akan bertemu?

Aku tak akan menunggu di nisan tak bernama itu sepanjang waktu.

Dan ingatanku tak akan mampu menyimpan rekaman wajahmu selamanya.

Wajahmu dalam memoriku memudar.

Tak banyak yang kuketahui tentangmu. Hanya seorang gadis yang entah mengapa menarik perhatianku. Kau bersinar, menghargai nisan tanpa nama. Dan aku adalah gelap, mengabaikan nisan dengan nama yang kukenal terukir indah.

Tidak ada alasan untuk menantimu. Tapi aku masih saja menantimu.
Tidak jelas apa yang kunantikan darimu. Tapi aku masih menantimu.

Seiring waktu, kau memudar. Hanya kuntum dahlia yang masih terukir jelas. Apakah, seiring waktu, kau juga akan kehilangan arti? Seperti nisan dingin yang berdiri jauh.

Tahun berganti, dan waktu masih tak mengijinkan kita bertemu.
Aku telah cukup lama menanti. Mungkin sudah saatnya aku berhenti.

Hei, kau. Aku bahkan tak mengetahui namamu. Aku akan berhenti menantimu, ketika kau telah menghilang dari memoriku.
Aku lelah menanti kehadiranmu. Dan kini aku menanti hilangnya dirimu.
Sosokmu memudar jauh, tak butuh waktu lama untuk menghilang, bukan?

Tahun berganti. Kita belum bertemu. Tapi kau juga belum menghilang.
Aku selalu menantikan hal yang sia-sia.

Kau mungkin memudar. Sosokmu hanya meninggalkan garis dan warna samar dalam otakku. Tetapi kau tak pernah menghilang.

Penantian manakah yang lebih sia-sia?

Kehadiranmu, yang tak diijinkan waktu.

Atau, hilangnya dirimu, yang tak diijinkan inti diriku?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Just a Simple Words © 2008. Design by Pocket