Fanfiction from : Winna's Melbourne
Laura’s Side Story : Coming Home
Max adalah cinta
pertamaku, aku pernah mengatakannya bukan?
Ya, yang
kumaksud ketika mengatakannya memang Maximillian Prasetya, lelaki yang
mengambil walkman tuaku, my giant teddy
bear. Kenyataannya, itu tidak sepenuhnya benar. Aku melupakan seseorang
yang pernah
benar-benar menjadi cinta pertamaku. Cukup muda sehingga bisa disebut cinta
monyet, tetapi jauh dari sekedar naksir. Namanya Sean, anak kuliahan yang
kutemui diam-diam sewaktu SMA dan diam-diam mendapat gelar best-man dariku.
Kisah yang satu
ini, tak seorang pun mengetahuinya. Bahkan Cee pun tidak. Sama seperti aku
menyimpan kisah Evan (walaupun Max mengetahuinya juga), aku menyimpan cinta
pertamaku ini di bilik lain hatiku. Tersimpan terlalu rapi hingga aku nyaris
melupakannya.
Pertemuanku
dengannya setelah sekian lama, di waktu yang tak terduga, mengusik memoriku
tentangnya. Ketika itu, aku tengah menatap kosong. Membiarkan ragaku
menjalankan kegiatannya sementara jiwaku mungkin masih tertinggal di salah satu
sudut Melbourne. Sekelompok seniman jalan, dengan alat musik klasik memainkan remix lagu lama.
“Laura?” Kala
itu, di antara kerumunan pejalan kaki
yang tertarik, dia menegurku. Dan aku langsung mengenalinya.
Dia berubah. Jauh
lebih tegap daripada ingatanku. Jauh lebih dewasa. Dan, jauh lebih…tampan.
Seorang gadis, lebih mungil dariku, berdiri di sisinya. Senyum ramah yang
identik terulas di bibir mereka.
Aku membalas
senyum mereka, kaku. Barangkali aku sudah menjelma menjadi zombie.
“Kau baik-baik
saja?” Tidak, aku tidak baik-baik saja,
Sean.
Maka, jadwalku
siang itu dibatalkan. Tidak ada acara
berburu kaset, tidak ada kunjungan membosankan ke pameran. Digantikan satu sesi
penuh dengan aliran ceritaku. Dia mendengarkan penuh
perhatian. Sean masih tetap best man-ku
kurasa. Sementara kekasihnya, dengan baik hati memberi kami ruang dan waktu.
Dia tak
menanggapi ceritaku dengan penghakiman. Tidak pula dengan nasehat.
“Do what your
heart tells, Laura. It will brings you home.”
Cee, Evan,
Max, adalah mereka yang kusebut rumah. Tetapi, bukan itu—
“Seseorang yang
kau ingin ada di sampingmu ketika kau berada di titik terburukmu. Seseorang
yang selalu ada di sampingmu. Bukan seseorang yang membuatmu cemburu di
beberapa momen hidupmu, tetapi seseorang yang diam-diam kau ingat sepanjang
waktu.”
Aku tersenyum,
kali ini tulus. “Apakah dia seperti itu?” Aku mengedikkan kepala kepada
kekasihnya, yang duduk sabar tak jauh dari kami, menyesap tenang secangkir kopi. Sean hanya
menjawab dengan senyum, yang kuartikan sebagai ‘ya’.
Sebenarnya, aku
tak sepenuhnya memahami apa yang dikatakannya saat itu. Bahkan tidak pula kini,
berhari-hari setelahnya.
Hari demi hari
berlalu. Tubuhku menjalankan segala
rencana kegiatan yang tertulis di secarik kertas kumal. Aku bahkan tidak
terlalu mengingat apa saja yang sudah kulakukan berhari-hari terakhir ini.
Seharusnya,
aku tidak sendirian menjalankan ini semua. Seharusnya, ada Max di sampingku.
Seharusnya, kami berkeliling Australia bersama. Memburu kaset. Tertawa keras
bersama di tengah kerumunan orang. Berdebat menentukan di mana kami akan
menginap di malam hari. Bertengkar kecil karena perbedaan pendapat akan
destinasi selanjutnya.
Aku
mendesah. Seseorang yang kau pikirkan
sepanjang waktu, mendadak aku teringat perkataan Sean. Jantungku berpacu
ketika memori dan keinginan tulusku mengambang dari dasar hati, menembus kabut
penyangkalan pekat yang terbentuk akibat pedih. Sejak dulu, aku sudah
mengetahui jawabannya.
Aku telah
menemukan jalan pulang. Maximillian dengan segala rangkaian cahayanya dan
kenangan di pojok Prudence adalah rumahku.
Sepertinya, aku
kembali berutang pada Sean. Dia yang mengenalkanku pada cinta pertama. Dan kini
dia mengantarku menemukan jalan pulang. Mungkin suatu saat nanti, aku akan
berbagi kisah kami. Bagaimana dia menjadi cinta pertamaku. Dan bagaimana
statusnya tidak pernah menjadi lebih dari best
man bagiku.
Itu kisah lain.
Satu hal yang pasti saat ini, aku harus pulang.
0 komentar:
Posting Komentar