Jumat, 17 Januari 2014

Laura’s Side Story : Coming Home #WFFB

Jumat, 17 Januari 2014

Fanfiction from : Winna's Melbourne

Laura’s Side Story : Coming Home

Max adalah cinta pertamaku, aku pernah mengatakannya bukan?
Ya, yang kumaksud ketika mengatakannya memang Maximillian Prasetya, lelaki yang mengambil walkman tuaku, my giant teddy bear. Kenyataannya, itu tidak sepenuhnya benar. Aku melupakan seseorang yang pernah benar-benar menjadi cinta pertamaku. Cukup muda sehingga bisa disebut cinta monyet, tetapi jauh dari sekedar naksir. Namanya Sean, anak kuliahan yang kutemui diam-diam sewaktu SMA dan diam-diam mendapat gelar best-man dariku.
Kisah yang satu ini, tak seorang pun mengetahuinya. Bahkan Cee pun tidak. Sama seperti aku menyimpan kisah Evan (walaupun Max mengetahuinya juga), aku menyimpan cinta pertamaku ini di bilik lain hatiku. Tersimpan terlalu rapi hingga aku nyaris melupakannya.
Pertemuanku dengannya setelah sekian lama, di waktu yang tak terduga, mengusik memoriku tentangnya. Ketika itu, aku tengah menatap kosong. Membiarkan ragaku menjalankan kegiatannya sementara jiwaku mungkin masih tertinggal di salah satu sudut Melbourne. Sekelompok seniman jalan, dengan alat musik klasik memainkan remix lagu lama.
“Laura?” Kala itu, di antara kerumunan pejalan kaki yang tertarik, dia menegurku. Dan aku langsung mengenalinya.
Dia berubah. Jauh lebih tegap daripada ingatanku. Jauh lebih dewasa. Dan, jauh lebih…tampan. Seorang gadis, lebih mungil dariku, berdiri di sisinya. Senyum ramah yang identik terulas di bibir mereka.
Aku membalas senyum mereka, kaku. Barangkali aku sudah menjelma menjadi zombie.
“Kau baik-baik saja?” Tidak, aku tidak baik-baik saja, Sean.
Maka, jadwalku siang itu dibatalkan. Tidak ada acara berburu kaset, tidak ada kunjungan membosankan ke pameran. Digantikan satu sesi penuh dengan aliran ceritaku. Dia mendengarkan penuh perhatian. Sean masih tetap best man-ku kurasa. Sementara kekasihnya, dengan baik hati memberi kami ruang dan waktu.
Dia tak menanggapi ceritaku dengan penghakiman. Tidak pula dengan nasehat.
Do what your heart tells, Laura. It will brings you home.”
 Cee, Evan, Max, adalah mereka yang kusebut rumah. Tetapi, bukan itu—
“Seseorang yang kau ingin ada di sampingmu ketika kau berada di titik terburukmu. Seseorang yang selalu ada di sampingmu. Bukan seseorang yang membuatmu cemburu di beberapa momen hidupmu, tetapi seseorang yang diam-diam kau ingat sepanjang waktu.”
Aku tersenyum, kali ini tulus. “Apakah dia seperti itu?” Aku mengedikkan kepala kepada kekasihnya, yang duduk sabar tak jauh dari kami, menyesap tenang secangkir kopi. Sean hanya menjawab dengan senyum, yang kuartikan sebagai ‘ya’.
Sebenarnya, aku tak sepenuhnya memahami apa yang dikatakannya saat itu. Bahkan tidak pula kini, berhari-hari setelahnya.
Hari demi hari berlalu. Tubuhku menjalankan segala rencana kegiatan yang tertulis di secarik kertas kumal. Aku bahkan tidak terlalu mengingat apa saja yang sudah kulakukan berhari-hari terakhir ini.
Seharusnya, aku tidak sendirian menjalankan ini semua. Seharusnya, ada Max di sampingku. Seharusnya, kami berkeliling Australia bersama. Memburu kaset. Tertawa keras bersama di tengah kerumunan orang. Berdebat menentukan di mana kami akan menginap di malam hari. Bertengkar kecil karena perbedaan pendapat akan destinasi selanjutnya.
Aku mendesah. Seseorang yang kau pikirkan sepanjang waktu, mendadak aku teringat perkataan Sean. Jantungku berpacu ketika memori dan keinginan tulusku mengambang dari dasar hati, menembus kabut penyangkalan pekat yang terbentuk akibat pedih. Sejak dulu, aku sudah mengetahui jawabannya.
Aku telah menemukan jalan pulang. Maximillian dengan segala rangkaian cahayanya dan kenangan di pojok Prudence adalah rumahku.
Sepertinya, aku kembali berutang pada Sean. Dia yang mengenalkanku pada cinta pertama. Dan kini dia mengantarku menemukan jalan pulang. Mungkin suatu saat nanti, aku akan berbagi kisah kami. Bagaimana dia menjadi cinta pertamaku. Dan bagaimana statusnya tidak pernah menjadi lebih dari best man bagiku.
Itu kisah lain. Satu hal yang pasti saat ini, aku harus pulang.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Just a Simple Words © 2008. Design by Pocket